informasi seputar pendidikan

Jumat, 03 September 2010

Tugas Mata Kuliah Al-Islam


KONSEPSI IBADAH DALAM ISLAM YANG BERDAMPAK PADA KEHIDUPAN

Oleh :
Gugun Gunawan

" Ruh ajaran Islam adalah Tauhid, meng-esakan Tuhan secara mutlak. Islam menjadi persaksian, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah "
A. Hakikat Ibadah

Allah Maha Mengetahui tentang kejadian dan tugas manusia, maka Allah memerintahkan kepada manusia supaya tetap berkomunikasi dengan Allah. Dengan ibadah komunikasi antara Pencipta dengan makhluknya akan selalu terjaga. Terjaganya komunikasi anatara manusia dengan Tuhan menyebabkan hidup akan terpelihara dari dosa. Orang seperti inilah yang dicita-citakan Islam, yang disebut dengan predikat taqwa. Hal ini pulalah yang menjadi hakekat ibadah dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 21 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:٢١]  
“Hai manusia, sembahalah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.

Di samping itu ibadah juga merupakan pernyataan syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai manusia dengan berbagai nikmat yang tiada terhingga, sehingga jumlah dan macamnya tak mungkin dapat dihitung oleh manusia, baik dari segi penciptaan fisik manusia yang begitu sempurna maupun dalam penyediaan segala kebutuhan hidup manusia.
Dengan demikian makin jelas, bahwa tujuan ibadah di samping menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan., juga merupakan cara untuk menyatakan syukur kepada Allah atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan kepada manusia.

B. Macam Ibadah
Macam ibadah ditentukan berdasarkan sudut pandang yang dipergunakan untuk menilainya
1. Secara umum ibadah dikelompokkan menjadi :
a.       Ibadah ‘aammah atau ibadah qhairu mahdllah (non ritual)
yaitu semua perbuatan positif yang dilakukan dengan niat baik dan semata-mata keridlaan Allah. Teknis pelaksanaan ibadah ini secara operasional diserahkan kepada orang yang akan melakukannya, dengan memperhatiakan situasi dan kondisinya. Dalam istilah lain dapat dikatakan seluruh amalan yang dizinkan Allah.

b.      Ibadah Khasshah atau ibadah mahdllah (ritual),
yaitu segala kegiatan yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibadah dalam artian khusus ini tidak menerima perubahan baik berupa penambahan ataupun pengurangan, misalnya shalat. Shalat dalam ajaran Islam biasanya digolongkan dalam ibadah khusus, karena itu cara melaksanakannya termasuk jumlah rakaatnya tidak dibenarkan untuk ditambah atau dikurangi. Jika terdapat penambahan atau pengurangan, maka hal itu dinamakan bid’ah, yaitu mengada-ada.

2. Ditinjau dari sudut pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua
    bagian yaitu :
a.       Ibadah Jasmaniah Ruhiyah
yaitu ibadah yang dalam pelaksanaannya memerlukan kegiatan phisik, disertai jiwa yang tulus atau ikhlas kepada Allah. Contohnya adalah shalat yang terdiri beberapa perbuatan dan perkataan dengan disertai kekhusyu’an. Kegiatan shalat memerlukan gerak anggota badan, ucapan tertentu dan keikhlasan. Tanpa hal itu semua, shalat yang dilakukan dianggap tidak sah.

b.      Ibadah Jasmaniah Ruhiyah Maaliyah
Ibadah yang pelaksanaannya memerlukan kekuatan phisik, mental yang membaja, dan materi. Contohnya adalah ibadah haji, haji dalam Islam hanya diwajibkan kepada orang yang mempunyai kemampuan (istitha’ah). Kemampuan meliputi kemampuan phisik, mental, dan harta. Kekuatan phisik diperlukan bagi mereka yang ingin melalkukan ibadah haji. Phisik yang lemah menyebabkan orang tidak mampu melaksanakan ibadah haji dengan baik dan sempurna. Tanpa kesiapan mental, manusia tidak akan sanggup untuk melakukan haji dengan baik. Di samping itu tanpa materi, terutama bagi mereka yang jauh dari mekkah, ibadah haji tidak dapat dilakukan.

3.  Ditinjau dari sudut kepentingannya, ibadah dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :
a.       Ibadah Fardy, yaitu ibadah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melakukan saja dan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Contohnya adalah shalat dan shaum merupakan ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah. Orang yang melakukan shalat diharapkan dapat menjaga dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Di samping itu orang yang puasa diharapkan dapat benar-benar menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah. Kedua nilai itu tidak akan diperoleh orang lain, kecuali orang itu yang melakukannya sendiri.
b.      Ibadah Ijtima’I, yaitu ibadah yang manfaatnya di samping dirasakan oleh orang melakukan juga dapat dirasakan oleh orang yang lain. Contohnya adalah ibadah zakat, dalam ajaran Islam mengajarkan, bahwa zakat merupakan upaya untuk membersihkan harta seseorang dan sekaligus dapat berfungsi sosial, yaitu untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dengan si miskin atau orang yang tidak mampu. Yaitu antara zakki dengan mustahiq. Dengan mengeluarkan zakat berarti ikut meringankan beban orang lain, artinya sembari beribadah orang lain dapat merasakan manfaatnya.

1.      Dilihat dari sudut waktu pelaksanaannya, ibadah dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu :
a.       Ibadah Muwaqat,
Ibadah yang waktu pelaksanaannya sangat terikat dengan waktu-waktu yang telah ditentukan Allah atau RasulNya. Apabila dilaksanakan di luar waktunya, maka nilainya menjadai tidak ada atau menjadi tidak sah. Mislnya ibadah shalat, setiap shalat mempunyai waktu tertentu, artinya setiap shalat harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Orang yang akan mendirikan shalat harus mengetahui, bahwa pada saat ini telah masuk waktu shalat yang didirikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 103 :
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا [٤:١٠٣]
 Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
b.      Ibadah Ghairu Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaanya tidak tergantung dengan waktu-waktu tertentu, artinya selama diizinkan Allah, maka hal itu dapat dilakukan. Misalnya untuk bertasbih dan zikir kepada Allah, hal itu dapat dilakukan kapan saja. Begitu juga untuk bersedekah tidak ditentukan waktunya. Hanya waktu-waktu yang diutamakan tentu saja ada, misalnya sadaqah sangat afdhal apabila dilakukan pada bulan Ramadhan seperti yang dijelaskan hadist Nabi: “diriwayatkan dari Anas katanya, ketika Rasulullah ditanya kapankah waktu yang paling baik/ paling afdhal melakukan sedeqah. Jawab Rasulullah: sedeqah di bulan Ramadhan. (H.R. at-Tarmizi).
5. Dilihat dari sudut status hukumnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian yaitu :
a.     Ibadah wajib,
yaitu ibadah yang harus dilaksanakan oleh   setiap muslim dam muslimah. Apabila tidak dikerjakan, maka yang bersangkutan akan mendapat dosa, misalnya shalat, puasa dan zakat.


b.    Ibadah Sunnah,
Ibadah yang sebiknya dilaksanakan. Apabila dilaksanakan yang bersangkutan mendapat ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan yang bersangkutan tidak mendapatkan dosa, misalnya shalat rawatib dan dhuha.

C. TUJUAN IBADAH
Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifahtullsh fil Ardhi dengan misi memimpin, mengelola, memakmurkan, dan memelihara keselamatan alam semesta. Untuk kepentingan tersebut Allah menurunkan Agama Islam, agar dengan berpegang pada ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya sesuai dengan maksud Allah. Dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab manusia seperti tersebut di atas, Allah menjadi manusia dalam bentuk yang paling sempurna lagi dimuliakan.
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur tersebut harus berkembang dengan baik dan seimbang. Oleh karena itu harus mendapat perhatian dan pembinaan yang seimbang, Unsur jasmani bersifat materi, kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat material, seeperti sandang, pangan dan papan, Sedang unsur rohani bersifat immateri, oleh karena itu kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat immaterial, sepertti ajaran akhlak, kesenian dan agama. Manusia yang dalam kehidupannya terlalu mementingkan materi, maka ia akan menjadi materialistik atau serba materi. Sedangkan manusia yang hanya mementingkan immateri, maka ia kan menjadi immaterialistik atau spiritualistik.
Manusia mengalami dua bentuk kehidupan, yaitu kehidupan pertama di dunia dan kehidupan kedua di akhirat. Kehidaupan di dunia adalah sementara yang sering disebut dengan istilah fana, sedang kehidupan di akhirat adalah abadi atau kekal. Kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari kehidupan di dunia dan bagaimana nasib seseorang di akhirat akan ditentukan oleh bagaimana kualitas hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia akhirat dan tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat.
Allah menjadikan manusia bukan sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawaban, melainkan diciptakan untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada kehendak Allah dan Ia akan meminta pertanggung jawaan manusia. Hal ini dapat difahami dalam firman Allah dalam surat al-Mukminuun ayat 115: 
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ  
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”.



Islam adalah agama Rahmatan Lil alamin atau rahman bagi seluruh alam. Oleh karena itu, diperlukan manusia yang bertaqwa atau patuh pada segenapperintah dan larangan Allah. Mereka itu tidak lain adalah manusia bersih hatinya dan baik akhlaknya. Manusia seperti inilah yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dan dirasakan. Pada hakekatnya hal itu merupakan tujuan agama Islam. Ibadah dalam Islam merupakan wasilah atau perantara dan sama sekali bukan qhayah atau tujuan. Oleh karena itu Islam rahbanah dan bukan pula agama yang mengajarkan untuk berlebih-lebihan mengajarkan ibadah. Adapun tujuan ibadah secara rinci adalah :

1. Untuk membina rohani
Ibadah yang terdapat dalam syari’at Islam, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji, selain untuk menyatakan ketaqwaan kepada Allah, juga bertujuan untuk menjadaikan rohani manusia senantiasa tidak lupa pada Allah, bahkan supaya senantiasa dekat dengan Allah. Perasaan dekat dengan Allah akan mempertajam kebersihan jiwa, sehingga dapat mencegah hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai Ketuhanan dan hokum yang berlaku dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia.
Dalam shalat terdapat dialog antara manusia dengan Allah. Dalam keadaan berhadapan dengan Allah, manusia memuja kemahabesaran dan kemahasucian Allah, menyerahkan diri kepada Allah, memohon supaya dilindungi dari godaan syaitan, memohon ampunan dari dosa yang telah dilakukan, memohon supaya diberi petunjuk ke jalan yang benar serta dijauhkan dari kesesatan dan berbagai perbuatan yang tidak senonoh dan lain-lain sebagainya. Ringkasnya dalam dialog dengan Allah, seseorang memohon kiranya Allah membersihkan rohaninya. Jika seseorang melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam denagan penuh keikhlasan menyampaikan permohonan tersebut, diiringi dengan upaya yang sungguh-sungguh ke arah itu, maka rohaninya menjadi bersih dan ia akan terjauh dari perbuatan-perbuatan buruk dan jahat.
Dalam melaksanakan puasa seseorang diwajibkan menahan hawa nafsu makan, minum, dan seks. Di samping itu ia juga harus menahan rasa amarah, keinginan memaki orang, bertengkar, dan perbuatan-perbuatan kurang baik lainnya. Pembinaan jasmani dan rohani bersatu dalam usaha membersihkan jiwa manusia. Dalam bulan Ramadhan orang diajurkan pula untuk banyak mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an. Semuanya itu membawa orang pada keadaan dekat dengan Allah. Pembinaan yang seperti ini disempurnakan dengan pernyataan kasih saying kepada para dhu’afa atau anggota masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan mengeluarkan zakat fitrah.
Dalam mengerjakan kewajiaban menunaikan ibadah haji adalah orang yang berkunjung ke Baitullah (rumah Allah) dalam arti rumah peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Allah di dunia. Sebagaimana halnya dalam mendirikan shalat, orang yang mengerjakan haji juga merasa dekat sekali dengan Allah. Bacaan-bacaan yang diucapkan pada waktu mengerjakan haji juga merupakan dialog antara manusia dengan Allah.Ibadah haji merupakan usaha pembersihan rohani disertai dengan pembinaan jasmani dalam  bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal yang sangat sederhana. Selama mengerjakan ibadah haji perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi dan ditinggalkan. Dalam ibadah haji terdapat pula latihan mempertajam rasa persaudaraan antara sesama manusia, karena dalam ibadah haji tiada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin dan antara orang yang berkedudukan tinggi dengan orangberkedudukan rendah.
Dalam hal kewajiban membayar zakat, walaupun ia mengambil bentuk penyerahan sebagian harta yang diperoleh untuk menolong fakir miskin dan orang-orang yang sedang berada dalam kesusahan hidup, tetapi juga merupakan upaya pembinaan rohani. Dalam hal ini rohani manusia dididik untuk menjauhkan kerakusan dan ketamakan pada harta benda, serta diarahkan untuk mempunyai perasaan kasih, murah hati, dan suka menolong anggota masyarakat yang berada damlam kekurangan. Dengan demikian akan terbina pula rasa persaudaraan.

2. Untuk Membina Akhlak
Akhlak atau budi perkerti luhur merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat, bahkan ia merupakan factor penentu kebaikan dan ketentraman suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran jika hal itu banyak disinggung Allah dalam al-Qur’an. Selain itu, Rasulullah sendiri menyatakan bahwa diutusnya beliau ke dunia adalah untuk menyempurnakan pedoman dan ajaran akhlak. Rasulullah pernah mengatakan, bahwa Allah telah menetapkan Islam sebagai agamamu, maka hiasilah agama itu dengan akhlak yang mulia dan hati yang pemurah. Di samping itu Allah mengakui, bahwa Rasulullah adalah orang yang memiliki akhlak yang luhur dan mulia.

Berbagai ibadah dalam Islam yang telah diwajibkan Allah kepada umat manusia, juga bertujuan untuk membina akhlak manusia, Ibadah shalat sangat erat kaitanya dengan upaya pembinaan akhlak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ 
Sesungguhnya shalat itu mencegah orang dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar”.

Oleh karena itu, melaksanakan shalat dengan tertib, teratur, khusyu dan dilandsasi dengan nilai yang tulus karena Allah, akan dapat membentengi orang dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia. Shalat yang tidak mampu menghindarikan dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia adalah shalat yang memiliki nilai rendah. Shalat yang seperti itu selama telah dipenuhi syarat dan rukunnya tetap sah hukumnya, hanya saja belum berhasil mendekatkan pelakunya dengan Allah, sehingga belum dapat menghilangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan Allah.
Demikian pentingnya kedudukan shalat dalam kaitanya dengan soal akhlak, sehinggga Rasulullah secara agak terperinci mengaitkan dengan sifat-sifat rendah dari pada Allah, tidak sombong, mengasihi orang miskin dan lain-lainnya melalui sebuah hadist qudsy sebagai berikut :
“ Shalat yang kuterima adalah shalat yang menjadikan pelakuknya berendah diri di hadapan kebesaran-Ku, tidak berkeras menentang perintah-Ku, melainkan senantiasa ingat kepada-Ku dan menaruh kasih saying kepada kaum fakir miskin, orang terlantar dalam perjalanan, wanita yang ditinggal mati suaminya, dan orang yang ditimpa kesusahan”.
Shalat yang dapat membuat pelakunya terjauh dari macam-macam sifat negatif adalah shalat yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Orang yang khusyu dalam mendirikan shalat dijamin Allah akan memperoleh keberuntungan.
Zakat yang merupakan suatu tindakan memberikan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat atau orang lain, sebagaimana halnya dengan ibadah-ibadah lainnya juga berkaitan dengan upaya pembinaan akhlak. Menurut firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
" Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka"
Jiwa pelaku zakat yang telah terbina akan melahirkan akhlak yang baik.
Ibadah puasa, sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 183

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

" Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"

menjelaskan eratnya kaitan puasa dengan pembinaan akhlak karena yang hendak dituju dengan ibadah puasa adalah terciptanya manusia yang bertaqwa, yakni manusia yang senantiasa mentaati perintah dan larangan Allah, manusia yang senantiasa melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk dan jahat, sebagaimana diungkap dalam hadist Rasulullah:
Dari Abu Huraurah r.a. berkat, Rasulullah SAW bersbda: Apabila salah seorang di antara kamu sekalian itu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan janganlah ribut-ribut. Jika ada seseorang mencaci maki atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata: sesungguhnya saya sedang berpuasa:.

Puasa yang dapat menghindarkan pelakunya dari bermacam-macam akhlak yang buruk adalah puasa yang dilakukan dengan menahan sedemikian rupa nafsumakan, minum dan seks, serta menghentikan kerja inderawi dari hal-hal yang bersifat negatif.
Dalam ibadah haji juga terkandung tujuan pembinaan akhlak. Ketika orang melaksanakan ibadah haji, seluruh akhlak buruk dan jahat harus ditinggalkan. Larangan ini bermaksud agar orang meningglkan akhlak yang seperti itu dan suka melakukan akhlak yang baik, sehingga benar-benar menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 197:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ [٢:١٩٧]
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”.
Ketika melaksanakan ibadah haji orang berdo’a supaya ibadah hajinya mabruur atau diterima Allah. Di antara indikasi ke mabruuran haji adalah terjadi perubahan sikap dan tingkah laku seseorang setelah kembali dari melaksanakan ibadah haji, ke arah peningkatan akhlak yang lebih baik.
Umat Islam melaksanakan berbagai ibadah adalah karena diperintahkan oleh Allah. Kerana manusia mempunyai kecenderungan untuk taat dan tidak taat, maka Allah mengiringi perintah-perintahnya dengan sangsi atau ancaman yang berlaku di akhirat. Namun demikian ibadah dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menyembah Allah, karena Allah adalah Maha Besar, Maha Kaya, Maha Perkasa dan Maha segala-galanya, serta disembah atau tidak disembah Allah tetap dalam keMahaannya.
Ibadah disyari’atkan semata-mata untuk kepentingan manusia itu sendiri, yaitu agar manusia menjadi muttaqin, manusia yang senantiasa mematuhi Allah dalam bidang apapun. Oleh karena itu, manusia harus berusaha supaya dapat dekat ke haribaan Allah atau taqarrub Ilallah. Adapun jalan yang efektif ke arah itu adalah dengan tertib dan khusyu melakukan ibadah. Apabila terdapat banyak orang yang bertaqwa di lingkungan masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang baik. Dari masyarakat yang baik Insya Allah akan lahir generasi baru yang baik, yang akan melanjutkan tugas-tugas kekhalifahan manusia.

Faktor-factor keikhlasan sangat besar pengaruhnya bagi tercapainya tujuan ibadah. Keikhlasan adalah perbuatan jiwa, yaitu sikap jiwa ketika melaksanakan ibadah yang tidak dipengaruhi oleh motivasi-motivasi lain, kecuali motivasi karena Allah semata-mata. Allah berfirman dalam surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
" Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mengabdi kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)agama dengan lurus”.
Melaksanakan ibadah dengan tingkat keikhlasan yang tinggi, memungkinkan orang dapat beribadah dengan khusyuk. Seharusnya setiap orang berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai kualitas ibadah seperti ini, karena ibadah seperti inilah yang dapat menyampaikan seseorang pada tujuan ibadah yang luhur dan mulia.
3. Memelihara Keseimbangan Unsur Rohani dan Jasmani
Ajaran Islam ditujukan untuk umat manusia, agar memperoleh pedoman yang menjamin kebahagian dan kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani, serta perorangan maupun kemasyarakatan. Manusia merupakan kesatuan unsur rohani dan jasmani. Manusia hidup memerlukan hasil potensi alam. Manusia hidup memerlukan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan dilakukan dengan iman yang bersendi tauhid mutlak dan ibadah yang ihklas sesuai dengan tuntutan yang diberikan.
Islam mengajarkan bahwa manusia yang berunsur jasmani dan rohani, yang hidup di dunia menuju akhirat, masing-masing unsur harus memperoleh tempat secara seimbang. Al Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 201 mengajarkan, agar manusia mohon kepada Tuhan untuk diberi kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat serta dipelihara dari siksa neraka. Dan al-Qur’an dalam surat al-qashash ayat 77 mengajarkan, agar manusia mencari perkampungan akhirat dalam pemberian Tuhan, tetapi jangan melupakan hidup di dunia.
Islam mengajarkan agar manusia tidak perlu mengurangi sifat-sifat kodrat kemanusiaannya, manusia perlu bekerja untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, serta manusia supaya bekerja untuk memajukan dan meningkatkan kehidupan di dunia. Yang harus menjadi pokok perhatian adalah jangan sampai usaha keduniaan melalikan orang dari hubungan dengan Allah, Tuhan yang memberikan hidup. Jangan sampai usaha memenuhi kebutuhan jasmani melalikan usaha memenuhi kebutuhan ruhaniah. Keinginan memperoleh kesenangan hidup di dunia jangan sampai mendesak kebutuhan membekali diri untuk hidup kekal di akhirat. Orang jangan sampai lupa kepada Allah, karena ia akan lupa hakekat dirinya dan hakekat wujudnya.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [٥٩:١٩]
" Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik."

لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ [٥٩:٢٠]
" Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung."

Dalam hubungan ini, al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18-19 memperingatkan orang-orang beriman, hendaklah bertaqwa kepada Allah. Masing-masing supaya memeriksa perbekalan apakah yang telah disiapkan untuk menghadapi kehidupan di masa depan, kehendaklah bertaqwa kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui segala sesuatu yang dilakukan. Jangan hendaknya seperti orang-orang yangb lupa kepada Allah, karena akan melupakan mereka terhadap diri mereka sendiri. Orang-orang yang lupa kepada Allah adalah orang-orang yang fasik.
Prinsip-prinsip yang diuraikan di atas berkaitan dengan kondisi fisik dan psikis manusia, sehingga syari’at ibadah dapat diterima akal, serta, mudah dimengerti dan dilaksanakan. Allah sebagai Pencipta manusia, Maha Mengetahui keadaan manusia. Oleh karena itu, dalam pembebanan ibadah keapada manusia, kelihatan sekali bahwa faktor-faktor kesanggupan hamba, naluriyahnya, keadaan kesehatannya, dan juga kesempatannya turut dipertimbangkan.
E. Kesimpulan
Ibadah  adalah kewajiban manusia sebagai mahluk Allah dan bukan merupakan paksaan, karena Allah Maha Segalanya tidak butuh apapun dari mahluknya, tetapi sebaliknya manusia hendaklah berfikir bahwa segala sesuatu yang dipunyainya sesungguhnya milik Allah dan sepatutnyalah kita sebagai mahluk yang telah diberikan nikmat yang begitu besarnya berterima kasih kepada-Nya dalam bentuk sujud Syukur yang dimanifestasikan dalam berbagai ragam Ibadah yang telah ditentukan seperti yang tercantum diatas.
Beribadah pun tidak hanya menuruti kemauan dan ketetntuan yang kita buat sendiri tetapi tetap harus jelas, sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaanya menurut syariat Islam, dan yang jelas Ibadah itu harus Ikhlas dalam keimanan dan keikhsanan dengan pijakan tauhid yang kuat.







DAFTAR BACAAN DAN RUJUKAN

1.  Departemen Agama , Al –Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta,
2. Ardi Winata, Pemahaman Islam di Perguruan Tinggi , Universitas Darma Persada, Jakarta
3.  Al Ghazali,Ihya’ulum ad-Din, Jilid 3. Singapura: Sulaiman Mar’I, tanpa tahun
4.  Hamka, Tasyauf Modern
5.  Http: Zekr.org, aplikasai Al-Quran Online

1 komentar: